Dalam waktu dekat Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan
Reformasi Birokrasi (RB) akan melakukan proses pengangkatan pegawai
honorer daerah (Honda) menjadi CPNS. Tentu ini kabar gembira bagi para
honorer yang memang sudah relatif lama bekerja, tapi bagi penulis
sebelum diangkat menjadi CPNS memang perlu dilakukan proses validasi
data dan pertimbangan ulang terhadap kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi di setiap daerah sebelum pengangkatan honorer menjadi PNS ini
dilakukan.
Bahkan, Azwar Abubakar Menteri PAN RB dalam rilisnya
di beberapa media massa mengakui dan membenarkan hasil verifikasi dan
validasi honorer memunculkan indikasi rekayasa atau manipulasi.
Berdasarkan data yang dilansir Wakil Kepala BKN Eko Sutrisno dari
152.130 tenaga honorer kategori 1, hampir semuanya telah divalidasi dan
diverifikasi. Hasilnya. Hingga 31 Desember 2011 sebanyak 72.569 memenuhi
kriteria (MK), dan sebanyak 77.891 yang tidak memenuhi kriteria.
Sedangkan
tenaga honorer kategori II yang telah sampai BKN per 31 Mei 2011
berjumlah 633.824 orang. Jumlah ini mengalami penambahan data kategori I
sebanyak 8.956, sehingga jumlahnya menjadi 642.780 orang. Mereka
terdiri dari tenaga honorer di instansi pusat sebanyak 84.996 dan di
daerah 577.784 orang. Ini membuktikan sejak terbitnya PP No. 48 tahun
2005 tentang pengangkatan Pegawai Honorer Daerah (PHD) menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah memberikan efek yang luar biasa
khususnya dari sisi kuantitas.
Namun, sisi lain harus diakui
pula, terbitnya PP No. 48 tahun 2005 tentang pengangkatan Pegawai
Honorer Daerah (PHD) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), memang
suatu hal yang harus diapresiasi karena keluarnya PP ini adalah bentuk
apresiasi pemerintah terhadap para tenaga honorer yang telah bekerja
belasan tahun di lingkungan pemerintahan. Bahkan untuk mengakomodir
suara-suara di daerah juga pemerintah mengubah PP tersebut dan
mengeluarkan PP 43/2007, di mana persyaratan kerja diubah menjadi
minimal 1 tahun pada tanggal 1 Desember 2005 yang sebelumnya persyaratan
kerja 5 – 20 tahun.
Penulis pun mencoba melakukan diskusi
dengan akademisi, pakar kepegawaian dan mantan pejabat BKN terkait
masalah ini. Ternyata ada cukup banyak persoalan dan menurut penulis ini
harus disikapi dengan serius di tengah cukup banyaknya oknum yang
bermain mata di ranah ini. Beberapa persoalan itu antara lain. Pertama,
jumlah PNS bertambah dengan pesat, dari 3,6 juta pada tahun 2002 menjadi
4,7 juta pada tahun 2010 sebagai akibat dari pemekaran daerah di mana
CPNS direkrut dalam rangka mengisi jabatan yang terus bertambah dan
Pengangkatan langsung PTT dan Sekretaris Desa menjadi CPNS.
Kedua,
terjadi mismatch antara kualifikasi yang diperlukan dan kualifikasi
pegawai yang ada, karena yang diangkat menjadi CPNS, terutama dari jalur
PTT, umumnya tenaga administrasi. Ketiga, Pemda terus merekrut PTT,
walaupun sudah ada larangan, dengan harapan setelah tahun 2009 akan ada
lagi pengangkatan langsung PTT menjadi CPNS. Keempat, belanja pegawai
terus membengkak sehingga kemampuan daerah untuk menyediakan pelayanan
publik menjadi terbatas. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dilansir
BKN Desember 2011 di mana rata-rata belanja APBD di setiap daerah
sekitar 30 hingga 50 persen di setiap propinsi. Kelima, terjadi
pemalsuan dokumen dan jual beli jabatan PTT di daerah sehingga banyak
diantara PTT yang masuk data-base sebenarnya tidak berhak diangkat
menjadi CPNS.
Keenam, meluasnya tuntutan dari guru kontrak (GTT)
dan tenaga honorer yang bekerja di sekolah dan rumah sakit swasta untuk
diangkat menjadi CPNS. Disamping permasalahan ini terjadi juga praktek
kecurangan dalam setiap proses pengangkatan CPNS dari kalangan pegawai
tidak tetap yang gajinya dibiayai oleh APBD. Kita mengetahui bahwa PNS
merupakan orang-orang yang akan menggerakkan jalannya fungsi birokrasi.
Kita
tidak bisa membayangkan ditengah penyimpangan proses validasi data
ditingkat daerah bahkan dicurigai juga ada oknum BKN yang main mata
dengan Pemda untuk mencederai proses validasi data tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana dengan kualitas pelayanan birokrasi di
Indonesia dan khususnya daerah ke depan jika masalah ini tidak segera
diungkap. Dengan jumlah pengangkatan yang relatif besar tersebut
tentunya harus ada pengetatan dan penyeleksian berkas kembali yang
dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah dan di daerah juga harus ada
keterbukaan informasi masalah ini ke masyarakat agar kemudian masyarakat
bisa mengontrol ini. Sehingga kemudian masyarakat tidak curiga dan
mampu berpikir positif kepada pemerintah daerahnya karena selama ini
masyarkat justru menilai hanya sebagian masyarakat yang dekat dengan
penguasa saja yang bisa mendapatkan kesempatan ini, sisanya tidak
walaupun sudah berpeluh keringat juga tidak diangkat menjadi CPNS.
Apalagi
proses pengangkatan juga ternyata tidak sejalan dengan kebutuhan. Bagi
penulis, ini menimbulkan masalah besar dikemudian harinya dan tentunya
membebankan APBD khususnya pada pos belanja pegawai. Dengan kata lain,
proses pengangkatan ini harus ditinjau ulang. Jika tidak, berdasarkan
diskusi penulis dengan para akademisi dan orang-orang yang memang tahu
banyak dengan persoalan ini akan menimbulkan empat hal masalah lainnya
yakni pertama terjadi inefisiensi karena jumlah pegawai yang ada
melebihi kebutuhan.
Kedua, kinerja organisasi pemerintah semakin
menurun karena pegawai yang ada kualifikasinya kurang sesuai dengan yang
diperlukan. Ketiga, akan ada sejumlah Pemerintah Daerah yang mengalami
kebangkrutan karena penambahan jumlah pegawai akan membawa konsekuensi
pada naiknya belanja pegawai dan terakhir atau keempat kemampuan daerah
untuk menyediakan dana bagi operasional pelayanan public serta belanja
modal semakin menurun sehingga pelayanan public akan menurun dan
pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Kekhawatiran ini harus
diantisipasi sejak dini. Kita berharap BKN tidak cepat-cepat
mengeluarkan SK walaupun dalam kategori tingkat pertama hal ini sudah
dilakukan. Bagi penulis, ini adalah kesempatan Menpan & RB untuk
membuktikan awal proses reformasi birokrasi. Masalah rekayasa data oleh
oknum-oknum tertentu baik di pusat maupun di daerah harus diberikan
sanksi tegas.
Selain itu, terkait masalah ini penulis juga
memiliki beberapa buah solusi dan saran sampai kemudian persoalan ini
benar-benar matang khususnya masalah verivikasi dan validasi data
pegawai honorer baik di tingkat pusat maupun daerah. Pertama,
Pengangkatan PTT, khususnya kategori II, ditinjau kembali karena akan
mendorong meluasnya tuntutan untuk menjadi CPNS. Kedua, Verifikasi data
PTT kategori I dan II diperketat karena ada indikasi bahwa sebagian dari
nama yang masuk data-base sebenarnya tidak memenuhi persyaratan,
direkrut setelah 1 Januari 2005 (menggunakan dokumen palsu). Ketiga,
harus ada penegasan dari Pemerintah bahwa instansi di pusat maupun
daerah tidak dibenarkan menerima PTT dan kekurangan pegawai dapat
diatasi melalui outsourcing. Keempat, kepala daerah perlu turun tangan
dan berupaya semaksimal mungkin memberikan data yang jujur dan juga
berani bersikap tegas terhadap bawahannya yang berani melakukan validasi
data. Semoga dengan proses seleksi yang ketat ditingkat verifikasi dan
validasi data pegawai honorer ini akan lahir CPNS-CPNS yang siap bekerja
dan melayani masyarakat dan mudah-mudahan kita memahami masalah ini
adalah bagian dari perbaikan kinerja aparatur kepegawaian dan sebagai
wujud dari implementasi upaya reformasi birokrasi yang saat ini sedang
digembor-gemborkan oleh Kementerian PAN & RB.
Sumber : Okezone
Menimbang Ulang Penetapan Honorer Menjadi CPNS
Monday, April 16, 2012
Diposting oleh
SDN 2 BARANG PANGGUL TRENGGALEK
di
10:13 AM